PUPUK KIMIA vs ORGANIK vs HAYATI
Oleh : Ir. Joni Riyanto
Artikel ini bisa dilihat juga di : NaturalNusantara.org
Pupuk Kimia berupa hara (bentuk ion) dibutuhkan secara langsung oleh tanaman untuk mencukupi kebutuhan unsur makro. Hanya saja pupuk kimia memang membawa efek samping berupa pengerasan tanah maupun beberapa dampak lingkungan lainnya. Tetapi bukan pupuk kimia yang salah, kesalahannya karena pupuk kimia tidak diimbangi pupuk organik. Asam-asam organik seperi humat dan vulfat dalam pupuk organik mampu mencegah dampak negatif tersebut. Solusinya selama masih mau pakai pupuk kimia tentu wajib pakai pupuk organik.
Pupuk Organik mempunyai kelengkapan unsur, tetapi kadar unsur makro yang tersedia (bisa diserap tanaman) tergolong rendah, sehingga kadang perlu tambahan pupuk kimia. Sebenarnya tergantung orientasinya, jika orientasi produksi tinggi sebaiknya tambahkan pupuk kimia, tetapi jika orientasinya pasar organik murni tentu tdk harus pakai pupuk kimia (sesuai sertifikasi yang dirujuk).
Pupuk Organik bermanfaat secara langsung melalui kandungan hara-nya maupun meningkatkan Kapasitas Pertukaran Kation (KPK) tanah yang akan membantu tingkat penyerapan unsur. Asam-asam organik juga mampu menjadi buffering (penyangga) pH tanah, jadi pH rendah (asam) bisa ditingkatkan sedangkan pH tinggi (basa) bisa diturunkan. Hal ini terjadi karena pengaruh rantai karbon (C-Organik) dan reaksi yang menyertainya.
Secara tidak langsung,pupuk organik melalui perannya membantu memperbaiki kesuburan fisika dan biologi tanah.
Ditinjau dari kesuburan fisika tanah : Asam-asam organik akan mampu memperbaiki keremahan/kegemburan atau keseimbangan pori makro dan mikro tanah (agregasi) sehingga memperbaiki sirkulasi oksigen untuk pernafasan akar (respirasi akar) dan kebutuhan udara bagi mikrobia tanah (pupuk hayati).
Ditinjau dari Kesuburan Biologi Tanah: Pupuk organik juga bermanfaat menyediakan nutrisi bagi mikrobia tanah (pupuk hayati), dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mikrobia tanah (pupuk hayati) sepeti suhu dan kelembaban tanah, kelengasan tanah,dll.
Pupuk Hayati (Bio) yang bahan aktifnya berupa mikrobia/mikroorganisme, tingkat kebutuhan dan manfaat masih fleksibel tergantung tingkat jumlah dan keragaman mikroorganisme yang ada dalam suatu habitat tanah (mikrobia insitu). Jika pada suatu lahan mikrobianya sedikit atau punah memang perlu tambahan pupuk hayati (mikrobia eksitu). Tetapi jika mikrobia insitu masih cukup maka tidak selalu aplikasi pupuk hayati (mikrobia eksitu) akan memberikan pengaruh yang signifikan.
Mikrobia (pupuk hayati) akan bermanfaat atau mampu bertahan hidup dan berkembang jika didukung lingkungan yang kondusif. Misalnya bahan organik harus cukup,tidak terjadi perubahan iklim yang ekstrim, tidak terkontaminasi racun pestisida dan herbisida, kesuburan fisika tanah cukup ideal, dll. Tetapi fakta yang ada sering sekali terjadi sebaliknya. Tanah sawah di Jawa kadar bahan organiknya dalam kondisi kritis (dibawah 2% dari idealnya 5%) sehingga kurang mendukung thd mikrobia. Budaya petani yg instan pakai pestisida dan herbisida kimia yang tdk bijaksana berpotensi membunuh mikrobia, global warming (pemanasan global) menjadi fenomena sering terjadi iklim yang ekstrim shg sering menjadi pemicu kematian mikrobia. Maka waspada dan berhati-hatilah jika pakai pupuk hayati agar tidak mubadzir.
Tingkat keterampilan dan pegetahuan, pola pikir, dan mental petani yang belum bisa memahami dan menerima ilmu tentang mikrobia (pupuk hayati) memerlukan perhatian dan kerja ekstra intensif untuk sosialisasi dan men-adopsi-kan pupuk mikrobia. Ketentuan pupuk hayati ada masa kadaluarsonya, lahan tdk boleh tergenang air dlm waktu lama,jika hujan ekstrim sebaiknya dilakukan pengulangan apikasi pupuk hayati, jika pakai pupuk hayati jangan terkena atau tercampur pestisida atau herbisida kimia, beberapa contoh ketentuan tersebut sering diremehkan, tidak dihiraukan bahkan dilanggar petani. Maka sering terjadi petani merasakan seolah tertipu oleh pupuk hayati, padahal belum tentu pupuk hayati atau distributornya yang salah. Tapi apakah terus bisa menyalahkan petani begitu saja ??!!!
Pupuk hayati berbahan aktif mikrobia (eksitu) sebagai mahkluk hidup tentunya secara alami akan tetap dan terus ingin bertahan hidup dan berkembang. Hal inilah yang kemudian muncul pendapat dan analisa bahwa pupuk hayati bisa berpotensi mengalahkan mikrobia insitu (mikrobia lokal/pribumi). Jika sampai hal ini terjadi, tentu keanekaragaman hayati dalam konteks kearifan lokal menjadi terancam. Selanjutnya sebagai mikrobia eksitu (pendatang) belum tentu mempunyai kekuatan adaptasi terhadap habitat barunya, sehingga jika terjadi perubahan iklim yg ekstrim maka mikrobia eksitu lebih berpotensi akan mati, padahal mikrobia insitu sebelumya telah kalah dan punah. Maka tanah atau lahan tersebut berpotensi berkurang kesuburan biologi-nya, dan yang lebih parah lagi akan hilang keanekaragaman hayatinya.
Dalam hal ini, memang benar bahwa pupuk kimia, pupuk organik dan pupuk hayati saling melengkapi dan bisa bersinergi. Ditinjau dari teknis aplikasi pupuk organiklah yang mempunyai tingkat manfaat lebih menyeluruh, mudah dan lebih fleksibel aplikasinya.
Pupuk hayati bukan tidak bermanfaat tetapi tidak sefleksibel pupuk organik, dan ada potensi kendala teknis aplikasi dan psikologi budaya petani, maupun pemenuhan syarat lingkungan. Bahkan secara keilmuan, pupuk hayati masih membutuhkan pengkajian lebih intensif dan mendalam.
Jika mengingat potensi dan peluang keberadaan mikrobia anah (insitu) sepertinya masih tetap ada dan bisa kita temukan mikrobia dalam tanah. Logikanya seharusnya sedikit apapun jumlah populasi dan keragaman mikrobia insitu, harusnya mikrobia insitu tersebut yang didukung dan dibantu untuk tetap bertahan hidup dan berkembang. Maka solusinya.....
"APLIKASIKANLAH MUTLAK / WAJIB PUPUK ORGANIK, DAN TIDAK HARUS PAKAI PUPUK HAYATI".
JANGAN SAMPAI PUPUK HAYATI TERDOKTRIN SEBAGAI SEBUAH "MITOS" SAJA.
Semoga bermanfaat....
0 Response to "PUPUK KIMIA VS ORGANIK VS HAYATI"
Posting Komentar